Solenodon (yang berarti "gigi berlekuk") adalah hewan mamalia berbisa, nokturnal, penggali, insektivora yang berasal dari famili Solenodontidae. Dua spesies solenodon yang hidup saat ini adalah solenodon Kuba (Solenodon cubanus), dan solenodon Hispaniola (Solenodon paradoxus).
Solenodon Hispaniola tinggal di berbagai habitat di pulau Hispaniola dari hutan kering dataran rendah hingga hutan pinus dataran tinggi. Dua spesies lainnya punah pada masa Kuarter.[1] Genera Amerika Utara Oligosen, seperti Apternodus, telah dianggap sebagai kerabat Solenodon, tetapi asal muasal hewan tersebut masih samar.[2]
Hanya satu genus, Solenodon, yang diketahui. Genera lainnya telah ditegakkan tetapi kini dianggap sebagai sinonim junior. Solenodontidae memperlihatkan ingatan dari karakteristik mamalia primitif. Pada tahun 2016, solenodon dikonfirmasi melalui analisis genetik sebagai bagian dari cabang evolusi yang terpisah dari garis keturunan dari landak, tikus tanah, dan celurut sebelum peristiwa kepunahan Kapur-Paleogen.[4] Mereka merupakan salah satu dari dua famili sorikomorf Karibia. Famili lainnya, Nesophontidae, punah pada masa Holosen dan hubungan kekerabatannya dengan solenodon tidak jelas.[2]
Uji genetik terbaru tampak mengindikasikan bahwa mereka memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain.[5] Diduga solenodon terpisah dari mamalia hidup lainnya sejak 73,6 juta tahun yang lalu.[6]
Secara tradisional, kerabat terdekat Solenodon diperkirakan merupakan tikus air raksasa dari Afrika dan Tenrecidae dari Madagaskar,[7] meski keduanya sekarang diketahui lebih dekat dengan tikus sejati (Eulipotyphla).[4][8] Solenodon menyerupai tikus yang sangat besar, dan sering dibandingkan satu sama lain; dengan moncong bertulang rawan yang sangat panjang; ekor panjang, gundul, dan bersisik; kaki tak berambut; serta mata yang kecil. Solenodon Kuba umumnya lebih kecil dari solenodon Hispaniola. Solenodon Kuba juga memiliki bulu berwarna coklat kemerahan dengan hitam pada bagian leher dan punggung. Bulu solenodon Hispaniola berwarna coklat gelap with dengan warna kekuningan pada wajah.[9] Moncongnya fleksibel dan, pada solenodon Hispaniola, moncongnya memiliki sendi ball-and-socket pada pangkal untuk meningkatkan mobilitasnya. Hal ini memungkinkan solenodon untuk menginvestigasi celah sempit di mana mangsa potensial dapat bersembunyi.
Solenodon juga dikenal karena kelenjar pada daerah inguinal dan pangkal paha yang menghasilkan bau musky yang menyerupai kambing. Solenodon memiliki panjang antara 28–32 cm (11–13 in) dari hidung ke buntut, dan berat antara 0,7–1,0 kg (1,5–2,2 lb).[10]
Solenodon memiliki beberapa ciri yang tidak biasa, salah satunya adalah posisi kedua puting pada betina, yang terletak di dekat daerah bokong, dan yang lainnya adalah air liur berbisa yang mengalir dari kelenjar liur yang dimodifikasi di rahang bawah melalui lekukan di gigi seri bawah kedua ("solenodon" diturunkan dari bahasa Yunani yang berarti "gigi berlekuk"). Solenodon adalah salah satu di antara sedikit mamalia berbisa. Temuan fosil menunjukkan bahwa beberapa golongan mamalia punah lainnya juga memiliki sistem saluran bisa melalui gigi, yang mengindikasikan bahwa karakteristik yang paling khas dari solenodon mungkin telah menjadi karakteristik mamalia kuno umum yang telah hilang di hampir semua mamalia modern dan hanya dipertahankan di beberapa keturunan yang lebih lampau.[11] Solenodon sering disebut sebagai "fosil hidup" karena masih dapat disaksikan langsung tanpa perubahan morfologi selama 76 juta tahun terakhir.[12]
Tidak diketahui pasti masa hidup solenodon di alam liar. Akan tetapi, beberapa individu dari spesies Kuba telah diketahui dapat hidup selama hingga lima tahun di dalam penangkaran dan individu dari spesies Hispaniola hingga sebelas tahun.[butuh rujukan]
Warga asli Indian Barat telah lama mengetahui tentang ciri-ciri gigitan solenodon yang berbisa. Beberapa studi spesifik pada air liur mamalia kecil di alam liar menunjukkan bahwa air liur yang diperoleh sangat mirip dengan bisa neurotoksik pada beberapa jenis ular. Solenodon membuat bisa pada kelenjar submaxillaris besar, dan hanya menginjeksikan bisa melalui lubang yang terdapat di gigi bagian bawah. Gejala gigitan solenodon meliputi depresi umum, kesulitan bernapas, kelumpuhan, dan konvulsi; dosis yang cukup banyak mengakibatkan kematian seperti yang telah dilakukan pada penelitian uji laboratorium yang melibatkan mencit.[13]
Makanan solenodon sebagian besar terdiri dari serangga, cacing tanah, dan invertebrata lainnya, tetapi mereka juga memakan bangkai dari hewan vertebrata, dan bahkan terkadang beberapa mangsa vertebrata hidup, seperti reptil atau amfibia kecil.[10] Mereka juga diketahui memakan buah-buahan, umbi, dan sayuran. Berdasarkan pengamatan pada solenodon di dalam penangkaran, mereka diketahui hanya minum ketika berendam. Solenodon memiliki struktur gigi yang relatif tidak terspesialisasi dan hampir lengkap, dengan rumus gigi: 3.1.3.33.1.3.3.
Solenodon mencari makanan dengan mengendus tanah hingga menemukan mangsa. Jika mangsa cukup kecil, solenodon akan langsung memangsanya. Setelah menemukan mangsa, solenodon akan mengangkat tungkai depan ke salah satu sisi mangsa dan kemudian menggerakkan kepalanya ke depan, membuka rahang dan menangkap mangsanya seerat mungkin.[butuh rujukan] Saat mengendus makanan, solenodon dapat menembus kulit luar dengan bantuan kuku yang tajam.
Terdapat penelitian yang menyimpulkan bahwa hewan jantan dan betina dari kedua spesies memiliki kebiasaan makan yang berbeda. Hewan betina memiliki kebiasaan menghamburkan makanan untuk memastikan potongan kecil makanan yang terlewatkan saat mencari makanan. Hewan jantan diketahui menggunakan lidahnya untuk menjilat makanan dan menggunakan rahang bawah sebagai sekop. Namun, spesimen tersebut diteliti di dalam penangkaran, sehingga kebiasaan tersebut mungkin tidak ditemukan di alam liar.[14]
Solenodon melahirkan satu atau dua anak di dalam liang sarang. Solenodon muda dirawat oleh induknya selama beberapa bulan dan awalnya mengikuti induknya dengan bergelantungan pada puting panjangnya. Saat menjadi dewasa solenodon merupakan hewan soliter dan jarang berinteraksi kecuali untuk berkembang biak.[10]
Tingkat reproduksi solenodon relatif rendah dengan memproduksi hanya dua anakan per tahun. Perkembangbiakan dapat terjadi setiap saat. Pejantan tidak akan membantu merawat solenodon muda. Induknya akan menyusui anaknya menggunakan kedua putingnya, yang terletak di bagian belakang. Jika induk melahirkan tiga anak secara bersamaan salah satunya akan kekurangan gizi dan mati. Masa menyusui dapat berlangsung hingga tujuh puluh lima hari.[12][15][16]
Solenodon membuat sarang di daerah bersemak di dalam hutan. Pada siang hari mereka mencari tempat tinggal di gua, liang, atau kayu berongga. Mereka mudah terprovokasi dan dapat masuk ke dalam hiruk-pikuk pekikan dan menggigit tanpa peringatan. Mereka berlari dan memanjat pohon dengan cukup cepat, meski menyentuh tanah hanya dengan jari. Solenodon diketahui bersungut seperti suara babi atau burung ketika merasa terancam. Saat mencari makanan, solenodon menggunakan serangkaian kebisingan cepat, yang menciptakan gelombang suara yang memantulkan keberadaan objek di sepanjang jalan.
Bentuk ekolokasi ini adalah cara utama di mana solenodon mampu menjelajahi serta mencari sumber makanan karena solenodon memiliki mata yang sangat kecil dan penglihatan yang kabur. Kemampuan pendengaran yang berkembang baik yang dipadukan dengan indra penghiduan di atas rata-rata membantu solenodon bertahan hidup meski ketajaman visualnya kurang baik.[17]
Kedua spesies yang masih ada terancam karena predasi dari garangan Jawa (Herpestes javanicus auropunctatus), yang diperkenalkan pada era kolonial untuk memburu ular dan tikus, serta dari by kucing dan anjing liar. Solenodon Kuba diketahui telah punah hingga seekor spesimen hidup ditemukan pada tahun 2003. Solenodon Marcano (Solenodon marcanoi) menjadi punah setelah kedatangan bangsa Eropa.[18] Solenodon Hispaniolan juga pernah diketahui telah punah, lebih dimungkinkan karena perilaku rahasia dan sulit dipahami ketimbang populasinya yang sedikit. Beberapa penelitian terbaru telah membuktikan bahwa spesies ini tersebar luas di seluruh pulau Hispaniola, tetapi tidak tahan terhadap degradasi habitat.
Sebuah studi yang dilakukan terhadap solenodon Hispaniola di Haiti pada tahun 1981 menemukan bahwa species ini “punah secara fungsional”, dengan pengecualian pada populasi kecil di daerah Massif de la Hotte. Sebuah studi lanjutan yang dilakukan pada tahun 2007 mencatat bahwa solenodon masih bertahan di daerah tersebut, bahkan meski daerah tersebut mengalami peningkatan kepadatan populasi manusia dalam beberapa tahun terakhir.[19]
Aktivitas manusia juga telah memiliki efek terhadap populasi Solenodon. Perkembangan populasi manusia di Kuba dan Hispaniola telah mengakibatkan perpecahan dan hilangnya habitat, sehingga berkontribusi pada berkurangnya jangkauan dan populasi solenodon.[20]
Sierra de Bahoruco, suatu pegunungan di barat daya Republik Dominika yang berbagi batas dengan Haiti, diperiksa oleh tim konservasi dalam mencari keberadaan solenodon. Kegiatan tersebut dilakukan di siang hari saat solenodon tertidur di dalam sarang sehingga mereka dapat dipantau dengan kamera inframerah. Saat para peneliti mencari solenodon di siang hari, mereka menemukan petunjuk berikut pada keberadaannya:
Solenodon yang ditangkap pada tahun 2008 selama ekspedisi berbulan-bulan di Republik Dominika memberikan kesempatan langka bagi peneliti untuk memeriksanya di siang hari. Durrell Wildlife Conservation Trust dan Ornithological Society of Hispaniola dapat mengukur dan mengambil sampel DNA dari hewan yang diteliti sebelum dilepas. Ini merupakan satu-satunya penangkapan yang dibuat di sepanjang ekspedisi. Informasi baru yang dikumpulkan memberi hasil yang signifikan karena sedikit informasi yang diketahui tentang ekologi terkininya, perilakunya, status populasinya, dan genetiknya, dan tanpa pengetahuan tersebut sulit bagi para peneliti untuk merancang konservasi yang efektif.[11]
Setelah kedatangan bangsa Eropa ke pulau tersebut, keberadaan solenodon terancam oleh anjing, kucing, luwak, dan pemukiman manusia yang lebih padat. Ular dan burung pemangsa juga menjadi ancaman.[22] Solenodon diketahui tidak memiliki efek negatif pada populasi manusia. Selain itu, solenodon berperan sebagai pengendali hama, membantu ekosistem dengan mengurangi populasi invertebrata, dan berperan dalam menebarkan benih tanaman buah.[23]
Saat ini, solenodon adalah salah satu dari dua mamalia insektivora asli terakhir yang bertahan hidup yang ditemukan di Karibia, dan salah satu dari hanya dua spesies mamalia darat endemik yang tersisa di Hispaniola.[24]
Karena kemampuan solenodon untuk bertahan hidup tidak menentu, pembicaraan mengenai konservasi solenodon telah dilakukan melalui "Last Survivors Project," yang berkolaborasi dengan pemerintah Dominika. Pada tahun 2009, rencana konservasi dalam jangka waktu lima tahun didanai, di mana kegiatan tersebut dilakukan untuk melakukan penelitian lapangan, menemukan berbagai hal yang akan dibahas, dan merancang peralatan monitor untuk memastikan kerberlangsungan hidup dalam jangka panjang.[25][26]
Salah satu tujuan dari usaha konservasi adalah untuk meningkatkan perhatian masyarakat lokal akan spesies solenodon, terutama di Republik Dominika. Ornithological Society of Hispaniola memperlihatkan gambar solenodon kepada masyarakat lokal di kedua negara, dan hanya sebagian kecil yang mengetahuinya karena perilaku nokturnal dari spesies tersebut.[21]
tidak sah; nama "WA01" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Solenodon (yang berarti "gigi berlekuk") adalah hewan mamalia berbisa, nokturnal, penggali, insektivora yang berasal dari famili Solenodontidae. Dua spesies solenodon yang hidup saat ini adalah solenodon Kuba (Solenodon cubanus), dan solenodon Hispaniola (Solenodon paradoxus).
Solenodon Hispaniola tinggal di berbagai habitat di pulau Hispaniola dari hutan kering dataran rendah hingga hutan pinus dataran tinggi. Dua spesies lainnya punah pada masa Kuarter. Genera Amerika Utara Oligosen, seperti Apternodus, telah dianggap sebagai kerabat Solenodon, tetapi asal muasal hewan tersebut masih samar.
Hanya satu genus, Solenodon, yang diketahui. Genera lainnya telah ditegakkan tetapi kini dianggap sebagai sinonim junior. Solenodontidae memperlihatkan ingatan dari karakteristik mamalia primitif. Pada tahun 2016, solenodon dikonfirmasi melalui analisis genetik sebagai bagian dari cabang evolusi yang terpisah dari garis keturunan dari landak, tikus tanah, dan celurut sebelum peristiwa kepunahan Kapur-Paleogen. Mereka merupakan salah satu dari dua famili sorikomorf Karibia. Famili lainnya, Nesophontidae, punah pada masa Holosen dan hubungan kekerabatannya dengan solenodon tidak jelas.
Uji genetik terbaru tampak mengindikasikan bahwa mereka memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain. Diduga solenodon terpisah dari mamalia hidup lainnya sejak 73,6 juta tahun yang lalu.