Kobra jávská (Naja sputatrix) je korálovcovitý had z rodu Naja, jeden z třinácti druhů tzv. plivajících kober, které po útočnících vystřikují svůj jed a míří při tom na oči. Druh popsal Friedrich Boie v roce 1821.[2] Kobra jávská je dle Mezinárodního svazu ochrany přírody málo dotčený druh, je však často lovena pro maso, kůži a orgány používané v tradiční medicíně.
Kobra jávská se vyskytuje v Indonésii, konkrétně na ostrovech Jáva, Malé Sundy (Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Flores, Lomblen a Alor). K životu dává přednost nížinám do výšky zhruba 600 m n. m. Lze ji najít v široké škále stanovišť, obvykle se vyskytuje v lesích, ale též v savanách a rýžových polích, někdy také v sekundárních lesích. Jedná se o pozemního hada, který je aktivní v noci.
Kobra jávská je středně velká a těžká kobra, měří zhruba 1,3 m, dorůstá maximální velikosti 1,85 m. Podobně jako ostatní kobry má tento druh dlouhá krční žebra, která se v případě ohrožení roztáhnou a vytvoří charakteristickou kápi. Hlava je eliptická s krátkým zaobleným čenichem s velkými nozdrami, oči jsou střední velikosti. Dospělé kobry jávské bývají stejnoměrně žluté, hnědé až černé, mladí jedinci mají na krku pruhy a skvrny. Barva a vzor kůže je rozdílná mezi hady na Jávě a jiných ostrovech, kde se tento druh také vyskytuje.
Střední smrtná dávka jedu u kobry jávské je 1,7 mg/kg. Jed je neurotoxický a silný, nemusí však rychle účinkovat. Tomuto druhu je přičítáno málo smrtelných uštknutí u lidí.
Kobra jávská je velmi útočná a nezdráhá se po narušiteli z jedových zubů vystříknout jed, cítí-li se ohrožena. Kobra se živí především malými savci, jako jsou myši a krysy, ale pojídá také žáby, ještěrky nebo jiné hady. Herpetolog Shine Boeadi publikoval v roce 1998 studii věnující se potravě těchto kober na 80 exemplářích. Většinu potravy tvořili savci. Rozmnožování probíhá od srpna do října během období sucha. Po kopulaci samice naklade na konci období sucha případně na začátku období dešťů průměrně 25 vajec ze kterých se po 88 dnech vylíhnou mláďata nezávislá na matce.
Hlavní nebezpečí pro kobru jávskou představuje lov. Tito hadi se loví především pro kůži a maso, žlučník, krev a srdce kober jsou však také využívány v tradiční medicíně. V roce 2011 bylo kvůli kůži vyváženo celkem 134 550 těchto hadů, přičemž většina obchodů probíhá na ostrově Jáva.
Kobra jávská je dle Mezinárodního svazu ochrany přírody (IUCN) málo dotčeným druhem a je zapsána v dodatku úmluvy CITES II.[3]
V tomto článku byl použit překlad textu z článku Javan spitting cobra na anglické Wikipedii.
Kobra jávská (Naja sputatrix) je korálovcovitý had z rodu Naja, jeden z třinácti druhů tzv. plivajících kober, které po útočnících vystřikují svůj jed a míří při tom na oči. Druh popsal Friedrich Boie v roce 1821. Kobra jávská je dle Mezinárodního svazu ochrany přírody málo dotčený druh, je však často lovena pro maso, kůži a orgány používané v tradiční medicíně.
Naja sputatrix Naja generoko animalia da. Narrastien barruko Elapidae familian sailkatuta dago.
Naja sputatrix Naja generoko animalia da. Narrastien barruko Elapidae familian sailkatuta dago.
Ular sendok jawa atau kobra jawa (Naja sputatrix) adalah sejenis ular berbisa anggota suku Elapidae. Ular ini menyebar terbatas di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Dalam bahasa Inggris ia dikenal sebagai Javan Spitting Cobra, Indonesian Cobra, atau Equatorial Spitting Cobra.
Naja sputatrix pertama kali dipertelakan secara ilmiah pada tahun 1827 oleh Friedrich Boie, seorang ahli hewan bangsa Jerman. Nama marganya, Naja, merupakan Latinisasi dari perkataan Sanskerta nāgá (नाग), yang berarti naga atau ular. Sementara epitet spesifiknya, sputatrix, adalah bentuk feminin dari sputator, bahasa Latin yang berarti 'peludah' atau 'penyembur'.
Ular bertubuh sedang hingga agak besar, kekar, dapat mencapai panjang 1,85 m (6,1 ft), namun kebanyakan hanya sekitar 1,3 m (4,3 ft) saja. Tubuhnya hampir bulat torak, namun acap memipih datar di bagian muka; bagian di sekitar leher dapat dilebarkan serupa tudung apabila merasa terancam. Bentuk kepalanya agak jorong, sedikit lebih besar dari lehernya; dengan moncong tumpul membulat dan lubang hidung besar. Matanya berukuran sedang, dengan orang-orangan mata (pupil) bundar. Sisik-sisik dorsal (punggung) halus tak berlunas, biasanya dalam 25 - 19(21) - 15 deret.[4]
Pola-pola warnanya sangat bervariasi. Spesimen dari Jawa berwarna kehitaman, kecokelatan, atau kekuningan; dengan ular muda (yuwana) kerap kali dengan pita dan bercak-bercak lateral di sekitar tenggorokan. Biasanya tidak ada pola gambar di belakang tudungnya, namun jika ada, pola itu sedikit banyak menyerupai bentuk-V.[5][6]
Ular-sendok jawa tercatat menyebar di pulau-pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Flores, Lomblen, dan Alor. Kemungkinan juga di pulau-pulau sekitarnya. Catatan dari Timor dan Sulawesi masih perlu diverifikasi. Meskipun terdapat satu spesimen Naja sputatrix dari Sulawesi, spesimen tersebut diduga ular lepasan yang berasal dari Jawa, karena tidak terbedakan dari spesimen asal Jawa.[7][8]
Di Jawa, kelimpahan ular ini bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.[8]
Kobra jawa umumnya dijumpai di lingkungan hutan hujan tropika, namun ular ini mampu beradaptasi dengan sangat baik pada pelbagai variasi habitat, termasuk pada wilayah-wilayah yang lebih kering[4], hutan tanah kering dan lahan-lahan pertanian[7]. Di Pulau Komodo, ular sendok ini hidup di sabana yang kering dan hutan gugur daun tropika[8].
Naja sputatrix bersifat sangat defensif dan lekas menyemburkan bisanya apabila merasa terganggu. Ular ini hidup di atas tanah (terestrial) dan aktif di malam hari (nokturnal). Mangsa utamanya adalah mamalia kecil seperti tikus, namun ia pun tak keberatan untuk menangkap kodok, ular lain[4], dan juga kadal untuk makanannya.
Musim kawin berlangsung di saat kemarau, antara Agustus hingga Oktober. Ular betina bertelur di sekitar November hingga awal musim hujan, meletakkan sebanyak 13-19 butir telur.[7] Menurut Kopstein, telur-telur ini akan menetas setelah 88 hari.[8] Anak-anak ular hidup mandiri sejak menetas dari telur.
Naja sputatrix tercantum dalam Apendiks II CITES; yang berarti bahwa spesies ini saat ini belum terancam kepunahan, namun akan terbahayakan populasinya apabila perdagangannya tidak dikendalikan dengan ketat. Ular ini memang banyak ditangkap dan diperdagangkan untuk kulitnya, dan kadang-kadang juga untuk dijadikan hewan timangan (pet).[9] Di beberapa kota di Jawa, ular ini juga dijual untuk darahnya (dan dagingnya) yang dimanfaatkan sebagai obat.[10]
|publisher=
(bantuan) |publisher=
(bantuan) Ular sendok jawa atau kobra jawa (Naja sputatrix) adalah sejenis ular berbisa anggota suku Elapidae. Ular ini menyebar terbatas di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Dalam bahasa Inggris ia dikenal sebagai Javan Spitting Cobra, Indonesian Cobra, atau Equatorial Spitting Cobra.
Ular Tedung Senduk Abu ("Naja sputatrix") ialah sejenis Ular Tedung Senduk. Ia merupakan spesies ular berbisa keluarga Elapidae. Ular ini terbatas di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Dalam bahasa Inggris ia dikenal sebagai Javan Spitting Cobra, Indonesian Cobra, atau Equatorial Spitting Cobra.
Naja sputatrix pertama kali direkod secara ilmiah pada tahun 1827 oleh Friedrich Boie, seorang ahli haiwan bangsa Jerman. Nama marganya, Naja, merupakan Latinisasi dari perkataan Sanskrit nāgá (नाग), yang bererti naga atau ular. Sementara epitet spesiesnya, sputatrix, adalah bentuk betina bagi sputator, bahasa Latin yang berarti 'peludah' atau 'penyembur'.
Ular bertubuh serdahana hingga agak besar, kekar, mampu mencapai panjang 185 m (607 ka), namun kebanyakan hanya sekitar 13 m (43 ka) saja. Tubuhnya hampir bulat torak, tetapi sering memipih datar di bagian muka; bagian di sekitar leher dapat dilebarkan serupa tudung apabila merasa terancam. Bentuk kepalanya agak jorong, sedikit lebih besar dari lehernya; dengan moncong tumpul membulat dan lubang hidung besar. Matanya berukuran sedang, dengan orang-orangan mata (pupil) bundar. Sisik-sisik dorsal (punggung) halus tak berlunas, biasanya dalam 25 - 19(21) - 15 deret.[1]
Pola-pola warnanya sangat bervariasi. Spesimen dari Jawa berwarna kehitaman, kecokelatan, atau kekuningan; dengan ular muda (yuwana) kerap kali dengan pita dan bercak-bercak lateral di sekitar tenggorokan. Biasanya tidak ada pola gambar di belakang tudungnya, namun jika ada, pola itu sedikit banyak menyerupai bentuk-V.[2][3]
Ular Tedung Senduk Abu ini dicatat di pulau-pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Flores, Lomblen, dan Alor. Kemungkinan ia juga terdapat di pulau-pulau sekitarnya. Catatan dari Timor dan Sulawesi masih perlu disahkan. Meskipun terdapat satu spesimen Naja sputatrix dari Sulawesi, spesimen tersebut diduga ular lepasan yang berasal dari Jawa, karena tiada perbezaan berbanding spesimen asal Jawa.[4][5]
Di Jawa, limpahan ular ini bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.[5]
Tedung Abu ini pada umumnya dijumpai di lingkungan hutan hujan tropika, namun ular ini mampu beradaptasi dengan sangat baik pada pelbagai variasi habitat, termasuk pada wilayah-wilayah yang lebih kering[1], hutan tanah kering dan lahan-lahan pertanian[4]. Di Pulau Komodo, ular sendok ini hidup di savana yang kering dan hutan gugur daun tropika[5].
Naja sputatrix bersifat sangat defensif dan pantas menyemburkan racunnya apabila merasa terganggu. Ular ini hidup di atas tanah dan aktif di malam hari (nokturnal). Mangsa utamanya adalah mamalia kecil seperti tikus, namun ia pun tak keberatan untuk menangkap kodok, ular lain[1], dan juga kadal untuk makanannya.
Musim mengawannya berlangsung pada musim kemarau, antara Ogos hingga Oktober. Ular betina bertelur di sekitar November hingga awal musim hujan, bertelur sebanyak 13-19 butir telur.[4] Menurut Kopstein, telur-telur ini akan menetas setelah 88 hari.[5] Anak-anak ular hidup mandiri sejak menetas dari telur.
Naja sputatrix disenarai dalam Apendiks II CITES; yang berarti bahawa spesies ini pada masa ini masih belum terancam kepupusan, namun populasinya akan terancam sekiranya perdaganggannya tidak dikendalikan dengan ketat. Ular ini memang banyak ditangkap dan dijual untuk kulitnya, dan kadang-kadang juga untuk dijadikan daiwan peliharaan.[6] Di beberapa kota di Jawa, ular ini juga dijual untuk darahnya (dan dagingnya) yang dimanfaatkan sebagai ubat.
|publisher=
(bantuan) |publisher=
(bantuan) Ular Tedung Senduk Abu ("Naja sputatrix") ialah sejenis Ular Tedung Senduk. Ia merupakan spesies ular berbisa keluarga Elapidae. Ular ini terbatas di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Dalam bahasa Inggris ia dikenal sebagai Javan Spitting Cobra, Indonesian Cobra, atau Equatorial Spitting Cobra.
Naja sputatrix – gatunek jadowitego węża z rodziny zdradnicowatych. Zamieszkuje obszary wyspy Jawa i małych wysp archipelagu Sundajskiego[2].
Opis: Osiągają długość do 150 cm. Dżetowoczarne ubarwienie na grzbiecie, brzuch jasnobrązowy. Jasne znaczenia na gardzieli.
Jad: Potrafią pluć jadem, ale prawdopodobnie populacja z Komodo tego nie potrafi.
Naja sputatrix – gatunek jadowitego węża z rodziny zdradnicowatych. Zamieszkuje obszary wyspy Jawa i małych wysp archipelagu Sundajskiego.
Opis: Osiągają długość do 150 cm. Dżetowoczarne ubarwienie na grzbiecie, brzuch jasnobrązowy. Jasne znaczenia na gardzieli.
Jad: Potrafią pluć jadem, ale prawdopodobnie populacja z Komodo tego nie potrafi.
Naja sputatrix là một loài rắn trong họ Rắn hổ. Loài này được Boie mô tả khoa học đầu tiên năm 1827.[3] Loài này còn được gọi là rắn hổ mang Indonesia, là một loài hổ mang phun rất độc bản địa Indonesia.
Naja sputatrix là một loài rắn trong họ Rắn hổ. Loài này được Boie mô tả khoa học đầu tiên năm 1827. Loài này còn được gọi là rắn hổ mang Indonesia, là một loài hổ mang phun rất độc bản địa Indonesia.